Ceriakan Palestina Bersama Tour Cheria Holiday

Muslim mana yang gak memendam cinta pada tanah Palestina, tanah kerinduan tempat bermuaranya harapan-harapan. Bumi tempat lahirnya para nabi, negeri di mana
peradaban islam berjaya sekian abad silam.

Kalo kita pernah membaca kisah negeri Syam yang subur makmur dalam Alqur’an, maka gak salah lagi, Palestina-lah salah satunya. Allah menganugerahkan Palestina lahan yang berkah, tumbuh suburnya sayur-mayur dan buah-buah, padahal kita tau wilayah Arab Saudi terkenal dengan padang pasirnya.

Eitt.. tapi ada yang lebih penting dari semua itu. Di sana ada Masjidil Aqso, masjid saksi sejarah peristiwa Isra Mi’raj Rasulullah dari Baitul Maqdis ke Sidratul Muntaha, masjid satu diantara tiga yang dianjurkan untuk kita berziarah. Sebagaimana disebutkan
dalam hadits:

لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِي هَذَا وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَ

“Tidak disarankan melakukan suatu perjalanan kecuali menuju tiga Masjid, yaitu Masjid Al-Haram (di Mekkah), dan Masjidku (Masjid An-Nabawi di Madinah), dan Masjid Al-Aqsha (di Palestina)”
(H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu)

Tapi, saat mendengar kata Palestina, sebagian dari kita pastinya otomatis membayangkan susasana perang, penjajahan, dan penindasan. Hiiiy…
Padahal sebenarnya gak segitunya juga.

Palestina, utamanya di ibukota Yerussalem, relatif lebih aman. Setidaknya gak seperti Gaza atau Ramallah yang setiap saat terdengar dentuman senjata atau ledakan bom.
Di Yerussalem, rakyat Palestina hidup berbaur dengan Israel. Meskipun ada batasan-batasan aturan yang diterapkan Israel, semisal pemberlakuan jam kunjungan pada area
masjidil Aqso, tapi toh gak begitu mengganggu kehidupan sehari-hari muslim Palestina.

Begitu pula dengan kisah-kisah horor tentang imigrasi Israel yang berada di Tepi Barat antara negara Israel dan Yordania. Perbatasan yang biasa disebut jembatan  Allenby ini konon adalah imigrasi dengan pemeriksaan paling ketat dan menakutkan sedunia. Padahal ini juga cukup dibawa santai. Jangan tegang, lemesin aja. Kalo kita gak berperilaku mencurigakan, gak bawa benda-benda berbahaya, paspor dan visa ada, gak ngambil foto sembarangan, insyaallah aman deh. Bismillahi tawakkaltu Alallahu..

Eh iya, ada satu tips yang pernah saya dengar. Biar gak dipersulit di imigrasi Israel, coba praktekkan “the Power of Cengengesan”. Caranya, kalo diinterogasi petugas, gak usah sok cas-cis-cus ngomong Inggris. Ntar kalo dicecar pertanyaan random kan bisa panik dan belepotan. Jadi jawab alakadarnya sambil cengengesan aja. Haha.. Tapi percayalah, it works. 😀

Nah, biar gak sekadar memendam rindu aja pada Palestina, biar gak sekadar dengar cerita-cerita, biar gak sekadar terbuai mimpi-mimpi belaka, makanya wujudkan dong!
Caranya gimana? Susah gak ya?

Nih, saya kasihtau ya..
Sudah pernah dengan Cheria Holiday belum?
Kalo belum, sebaiknya kenal dulu. Kata orang, tak kenal maka ta’aruf.

Cheria Holiday adalah salah satu program dari Wisata Halal Tour Travel untuk memenuhi kebutuhan umat Islam melakukan perjalanan ibadah yaitu pentingnya menu halal di tempat kunjungan wisata walau ke negeri non muslim sekalipun. Biar gak galau kalo mau jajan atau kulineran.

Sesembak dan Sesebabang berwajah-wajah ceria ini di baliknya:

wisata halal

Berdiri sejak tahun 2012, sudah melayani ribuan wisatawan dan peziarah dengan komitmen pelayanan terbaik dengan harga bersaing dan garansi kepuasan bagi para tamu. Layanan mencakup kebutuhan paket tour muslim untuk dalam dan luar negeri juga menyediakan tiket, hotel, visa dan kebutuhan perjalanan lainnya baik untuk kebutuhan personal, corporate atau grup.

Untuk Tiket Cheria adalah Agen IATA baik Domestik maupun Internasional dan Untuk Layanan Haji Plus dan Umroh Cheria adalah Agen Resmi Madinah Iman Wisata Cabang Jakarta dengan Izin Resmi Depag No. 118/2015 dan D/70/2015.

Gimana? Sudah cukup kenalannya?
Oh, belum? Baiklah, saya lanjutkan..

Cheria Wisata berkantor Pusat di Gedung Twink Lt. 3,Jl. Kapten P. Tendean No. 82 Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Nomer Telepon : 021 – 7900 201 / 021-700 216 dan Email : info@cheria-travel.com serta Web: http://www.cheria-travel.com.

Legalitas PT Cheria Tour and Travel: TDP 36/2014 Tanggal 7 Januari 2013, Dinas Pariwisata DKI Jakarta, Member International Air Transport Association (IATA) dengan Nomor 15314132, Izin Penyelenggara Ibadah Haji Khusus Madinah Iman Wisata Nomor 118 Tahun 2015, Izin Umroh Madinah Iman Wisata Nomor D/70/2015, Cabang Resmi Madinah Iman Jakarta

Nah, karena kali ini kita ngebahas Palestina, maka salah satu program Tour unggulan yang saya rekomendasikan adalah Paket Tour Ziarah Masjidil Aqso 2018 atau Program Ziarah Jejak Rosul 

aqso

Program Napak Tilas di Bumi Para Nabi ini  adalah Perjalanan 11 Hari Mengunjungi 3 Negara ( Palestina + Jordan + Mesir ). Mulai dari Cairo – St.Catherine – Jerussalem – Hebron – Jericho – Amman – Wadi Rum – dan Petra.

Berikut ini detailnya:
1. Hari ke – 1. Cairo Arrival
2. Hari ke – 2. City Tour Cairo Full Day
3. Hari ke – 3. Cairo – Alexandria – Cairo
4. Hari ke – 4. Cairo – Terusan Suez – St. Catherine – Gn. Sinai
5. Hari ke – 5. Gn. Sinai – Taba
6. Hari ke – 6. Taba – Jerussalem (Baitul Maqdis) – Hebron – Maqam Nabi Yunus
7. Hari ke – 7. City Tour Jerusalem, full day
8. Hari ke – 8. Jerusalem – Jericho – Allenby – Petra
9. Hari ke – 9. Petra – Dessert Safari Wadi Rum – Amman
10.Hari ke – 10. Amman – Muscat

11.Hari ke – 11. Jakarta Arrival

Masyaallah. Nikmat yang mana lagi yang kamu dustakan, coba? Hehe..
Apalagi kalo tonton video-video perjalanan di sini.
Duh.. tambah mupeng.. 😀

Optional Tour :
1. Di hari ke – 2 tersedia optional tour untuk ke Ruangan Khusus Mumi Fir’aun dengan harga USD 15 / pax
2. Di hari ke – 4 tersedia optional tour yaitu mendaki ke Gunung Sinai, dengan harga USD 40 / pax

Daftar Hotel :
1. Cairo : Grand Nile atau setaraf (*5)
2. ST. Chaterine : Catherine Plaza atau setaraf (*3)
3. Taba : Hilton Hotel atau setaraf (*5)
4. Jerusalem : National atau setaraf (*4)
5. Petra : Panorama Petra atau setaraf (*4)
6. Amman : Sadeen / Arana Space Amman atau setaraf (*4)

Harga sudah termasuk :
1. Tiket penerbangan by Oman Air
2. Akomodasi Hotel sesuai dengan rincian perjalanan
3. Transportasi sesuai dengan rincian perjalana
4. Makanan halal sesuai dengan rincian
5. Tiket masuk ke museum sesuai rincian
6. Guide yang bisa Bahasa Indonesia
7. Departure Tax perbatasan
8. 2 botol air mineral per orang selama perjalanan
9. 1 botol besar air mineral selama makan (share untuk 4 orang)
10.Fasilitas wifi dalam bis

Harga tidak termasuk :
1. Asuransi perjalanan
2. Tipping
3. Visa Cairo
4. Visa Israel
5. Pengeluaran pribadi
6. Minuman tambahan seperti soft drink . juice dan lain – lain yang tidak sesuai dengan rincian perjalanan.

Akhirul kalam, saya cuma mau bilang “Jangan takut ke Palestina”. Mari sama-sama kita muliakan negeri para Nabi yang diberkahi.

Pahlawan yang Terlupakan

November, 1978

Mata Subali berbinar di kegelapan malam, tak bisa menahan luap gembira saat melihat samar-samar di kejauhan perahu lambo berlayar besar itu semakin mendekat ke arah kapal mereka. Kapten Rasyid menghela nafas. Tujuh orang awak kapal lainnya yang masih berada di dek, merangsek naik ke geladak.

Betapa tidak, sepekan sudah mereka terombang-ambing di lautan luas tak tentu arah. Sejatinya mereka sudah merapat di dermaga Tanjung Perak, andai mesin Deutz berdaya pacu 300 PK yang menempel pada kapal tongkang yang mereka bawa itu tak ngadat di perairan Selayar, yang notabene belum juga separuh perjalanan dari dermaga Kendari menuju Surabaya.

Perahu lambo yang mendekat ini adalah harapan kedua bagi sembilan awak kapal, setelah sebelumnya ada sebuah kapal tanker kecil menuju Irian yang mampir hendak memberi bantuan, namun akhirnya kembali berlalu setelah menyadari mustahil tanker kecil menggandeng kapal tongkang bermuatan rotan yang berbobot mati 20 ton.

”Wawonii”. Begitu merek yang tertera pada kapal tongkang.

Adalah Abdul Rasyid, lelaki paruh baya veteran TNI yang akrab dengan panggilan Kapten ini yang bertanggung jawab penuh atas awak kapal dan seluruh perjalanan.

Delapan anak buahnya; Subali, Slamet, Warno, Basarung, Lamane, Kamaruddin, Ungke, dan Ho Ki, direkrut serampangan. Tapi rata-rata orang yang berpengalaman dalam melaut.

Kapal tongkang Wawonii milik Perusahaan Daerah. Sementara rotan muatannya milik Baba Hui, pengusaha Tionghoa, mitra dagang pemerintah. Abdul Rasyid sendiri sudah lumayan lama dipercaya sebagai Kapten kapal, dan selama itu pula semuanya berjalan lancar.

Kapal Wawonii tak hanya mengarung laut Sulawesi, tapi sudah berkali-kali menantang ombak laut Jawa. Berbagai hasil bumi pernah dibebankan. Mulai dari rotan, damar, hingga bebatuan.

Rakyat kecil pun tertolong, mengingat di tahun 1978 ini tak ada kapal sejenis yang bolak-balik dengan rute Kendari, Raha, Buton, hingga kembali ke dermaga Kendari, selain kapal Wawonii. Ina-ina pedagang kecil asal Raha biasanya menumpang tanpa dipungut biaya.

Lebih dari itu, kapal Wawonii tak bisa dinafikan peranannya bagi pembangunan daerah. Berbentang-bentang jalanan aspal yang menyambung beberapa wilayah di Kabupaten Kendari, batu-batuannya berasal dari pulau Padamarang yang diangkut bolak-balik menuju Pomalaa oleh kapal Wawonii.

Demikianlah. Belum ada kendala yang begitu berarti, hingga datangnya musibah kali ini. Kapal Wawonii mogok di perairan Selayar, tak tanggung-tanggung hingga sepekan lamanya.

”Ada orang Buton..?” teriak seseorang dari perahu lambo yang makin merapat. Suaranya memecah keheningan malam.

”Saya..!” Muallim Kamaruddin unjuk jari. Cahaya senter dari perahu lambo serta merta diarahkan ke sosoknya. Sejurus kemudian terjadi komunikasi dengan bahasa Buton. Kapten Rasyid yang berdarah Bugis, Bas Subali sang Masinis Jawa, hingga Ungke, juru mudi yang asal Sangir itu terdiam serius mencoba memahami. Awak lainnya hanya terbengong, beberapa diantara mereka mengisap rokok dalam-dalam, mencoba menawar hawa dingin yang menusuk kulit.

Negosiasi tak berlangsung lama. ”Mereka dari Maumere, dengan tujuan Tanjung Pinang, Pak..!” ujar Kamaruddin kemudian sedikit berbisik pada Kapten Rasyid.

”Tak mungkin berharap mereka menggandeng kapal kita, Pak. Tapi mereka bersedia mengangkut kita..!” sambung Kamaruddin lagi.

”Alhamdulilah..! tak apa-apa, yang penting kalian selamat sampai daratan dulu..!” sang kapten menghembus nafas lega.

Perahu koli-koli kecil mulai diturunkan. Cuma bisa mengangsur dua sampai tiga orang. Satu persatu awakpun mulai berpindah ke perahu lambo. Kini tersisa sang kapten dan dua orang masinis, Subali dan Ho Ki, yang menunggu giliran.

”Kalian berdua naiklah, tinggalkan saya sendiri di sini!” perintah kapten Rasyid kemudian. Subali dan Ho Ki terperanjat, sama sekali tak menduga keputusan itu.

”Maaf, Pak..! kami tidak bisa membiarkan bapak sendiri di sini. Apa tidak sebaiknya kapal ini kita tinggalkan saja..?” Subali angkat bicara.

”Iya, Pak..! kami siap bertanggung jawab bersama terhadap perusahaan..” Ho Ki, masinis turunan Tionghoa itu memberanikan diri ikut menimpali.

”Tidak..! saya pimpinan di sini..! saya yang bertanggung jawab..!”

”tapi, Pak…..”

”Tak ada tapi-tapian..! ini perintah..! paham..?” nada bicara sang kapten meninggi. Dua anak buahnya terdiam sejenak. Seolah masih tak percaya perintah itu.

Orang-orang di perahu lambo mulai memberi isyarat, agar segera mengambil keputusan karena perjalanan segera akan dilanjutkan.

Subali dan Ho Ki hanya pasrah kemudian. Mereka paham betul sikap Kapten Rasyid yang keras dan tegas, tapi benar-benar tak paham tindakan yang diambil sang kapten kali ini. Bergantian mereka memeluk kapten Rasyid erat-erat, seraya mencium punggung tangannya. Subali sempat meneteskan air mata haru. Bagaimanapun, diantara semua awak, dialah yang paling dekat dan punya ikatan emosional dengan sang Kapten. Baginya, Kapten Rasyid tak sekadar atasan, tapi sudah dianggap sebagai ayah sendiri. Bertahun-tahun dia mengikuti perjalanan demi perjalanan sang kapten mengarung laut kecil hingga samudra. Tak jarang di waktu senggang mereka bertukar cerita. Tak terbilang falsafah hidup yang didapatnya dari Sang Kapten. Dan miris sekali rasanya jika kali ini mereka harus berpisah dengan cara yang tak lazim, atas nama tanggung jawab.

Setelah semua awak terangkut, perahu lambo mulai menjauh meninggalkan kapten Rasyid sendiri. Perahu berlayar sehari semalam. Tiba di Tanahkeke, sebuah kampung kecil di daerah Kajang, Ujungpandang. Subali dan awak kapal wawonii lainnya turun, dan perahu penolong itu kembali melanjutkan perjalanan menuju Tanjung Pinang.

Bermalam semalam di Tanahkeke, paginya mereka bergegas ke Kota Ujungpandang untuk melaporkan ikhwal kapten mereka yang masih bertahan di kapal Wawonii kepada Syahbandar. Berita kemudian diteruskan ke Kendari dan segera menyebar, hingga sampai ke telinga keluarga kapten Rasyid.

Sudah terduga, Subali dan kawan-kawan jadi bulan-bulanan tumpahan kesalahan. Berbagai pihak menuding mereka tidak berprikemanusiaan, tega meninggalkan kapten sendiri di tengah lautan. Bahkan santer terdengar kabar selentingan, Sang Kapten telah mati ditangan anak buahnya.

”Demi Allah, Kapten kami masih hidup, dan kami hanya menjalankan perintahnya..!” ujar Subali berulang-ulang pada setiap siapa saja yang bertanya. Subali jadi serba salah. Jangankan bersilaturahim dan menceritakan duduk permasalahan kepada keluarga kapten Rasyid, untuk sekadar keluar rumah saja ia merasa was-was. Terlebih lagi ada beberapa pihak dari simpatisan sang kapten yang konon mengancam keselamatannya.

Perusahaan daerah pemilik kapal Wawonii tak tinggal diam. Yusran, pimpinan perusahaan otomatis terbebani secara moral. Apalagi setelah kabar itu sampai ke Gubernur. Dikerahkanlah penyelamatan. Kapten Kudati ditugaskan membawa kapal Haluoleo, ditemani Subali dan beberapa awak Wawonii. Tim SAR Ujungpandang juga turut berpartisipasi. Tak cukup bantuan laut, helikopter milik Pertamina pun bergerak menuju area-area terakhir yang dilewati kapal Wawonii. Mereka menyisir laut Selayar bagian barat, hingga ke Bulukumba.

Sehari, dua hari. Sepekan, dua pekan, hingga masuk pekan ketiga, pencarian tak membuahkan hasil.

”Maaf, sepertinya sudah tak ada harapan..” ujar kepala Syahbandar pasrah. Diamini berbagai pihak.

Arifah, istri kapten Rasyid hanya bisa terisak saat menerima sejumlah uang duka dari Pak Kurdin bendahara perusahaan, serta beberapa petinggi perusahaan lainnya yang menyambangi. Uluran tangan datang beruntun, tapi tak juga mengobati gundah dan tekanan batinnya. Sebagai istri tentara, ia sudah biasa ditinggal dalam jangka waktu yang lama. Ia selalu siap dengan segala resiko. Tapi tak pernah terbersit di benaknya akan ditinggal sang suami dengan keadaan seperti ini. Anaknya sembilan orang, sebagian masih kecil, masih sangat butuh figur bapak. Entah bagaimana menjelaskan kepada mereka.

Dua puluh tiga hari sudah terlewati. Suasana duka masih jelas terlihat di gubuk sederhana itu. Suara orang mengaji masih terdengar bersahut-sahutan, layaknya mengantar kepergian orang yang baru saja berpulang ke haribaan Tuhan.

Arifah duduk di balai-balai, komat-kamit membaca Surah Yasin. Sebelah tangannya mendekap erat-erat Rizal anaknya bungsunya yang bulan ini juga genap berusia setahun. Bacaan itu sekali-sekali jeda, sembari menengok foto sang suami, gagah terpampang di dinding. Air mata kembali bergulir.

”Pak, bagaimana nasibmu di laut sana..” ucapnya lirih.

***

Sementara itu, nun jauh di perairan Jawa, sebelah utara Pulau Madura, sebuah kapal kecil terombang-ambing dimainkan gelombang.

Ya, kapal itu kapal wawonii. Dan sang Kapten ternyata masih juga bertahan di atasnya. Tanggung jawab, sebuah alasan klasik yang terdengar konyol dalam situasi seperti itu, tapi itulah kenyataannya. Kalaulah berpikir materi, toh tak banyak yang bisa diharap dari gaji sebagai kapten yang hanya tujuh ribu rupiah perbulan.

”Blarrr..!!” sesekali ombak menghantam dinding kapal, menyisakan percikan yang membasahi seluruh geladak. Begitu mudahnya kapal dipermainkan, terhempas ke sana ke mari. Terasa begitu ringan, apalagi muatan rotannya sudah tak ada. Sudah terlepas dari tongkang, entah pada hari ke berapa.

Untunglah sang kapten tanggap. Jangkar dilego sepanjang 30 meter, dengan begitu arus sedikit terkendali. Ombak bisa dicegah membalikkan kapal.

Tersirat kecemasan di kerutan keningnya. Usianya tak muda lagi, jelang 53 tahun. Ia sudah mengenyam berbagai asam garam kehidupan. Sebagai TNI veteran perang, berbagai tantangan terberat pernah dilaluinya. Bermain-main dengan maut telah diakrabinya. Dan di kapal kecil ini semua masa lalu itu kembali terpampang satu persatu seperti sebuah halusinasi. Kadang datang dalam wujud mimpi.

Terbayang saat ia lolos dari maut ketika hujan peluru pesawat udara pemberontak PRRI membombardir kapal Intata yang merapat di dermaga Kendari.

Terbayang saat merayap dan dibombardir sekutu ketika tugas perang gerilya di Ambon. Terbayang berondongan senjata AK-nya di garis depan dalam perebutan Jogjakarta dari tangan penjajah.

Terbayang saat terluka tembak di wajah dalam memimpin perburuan antek-antek Kahar Muzakkar yang dipimpin Petta Baso di hutan Kolaka.

Tak luput pula dari bayangan saat sendirian menghabisi pemberontak DI/TII dalam mempertahankan wilayah Torete dan Buleleng. Hingga terpampang jelas bayangan dirinya menggorok leher Belanda saat menyusup dan menyaru jadi tentara KNIL di Kalimantan.

Semua kejadian lampau itu seingatnya dilakukan tanpa rasa takut. Tapi entah kenapa di kapal kecil wawonii ini, kecemasan dan ketakutan kerap menghampiri dirinya. Keringat dingin selalu saja membanjiri. Apalagi suara-suara aneh layaknya teriakan-teriakan dan kadangkala menyerupai suara tangisan dari arah ruang mesin selalu mengusiknya, membuatnya terjaga nyaris pada setiap tidur malam.

Hari ini genap 23 hari di atas kapal. Kapten Rasyid ingat betul itu. Goresan lingkaran hampir memenuhi angka-angka pada kalender.

Kulit lelaki paruh baya ini menghitam legam terbakar panas matahari. Janggut dan cambang tak terurus. Tubuhnyapun semakin ringkih. Bukan karena tak makan, terlebih karena digerogoti beban pikiran. Toh asupan gizi di kapal ini masih cukup memadai. Persediaan beras masih banyak, sebagaimana ikan sisa pancingan semalam yang masih teronggok, cukup untuk dikonsumsi hingga malam menjelang.

Kapten Rasyid menebar pandangan sekeliling. Tetap seperti hari-hari kemarin, yang ada hanya garis panjang horizontal batas laut dan langit, membuatnya seolah berada dalam sebuah  lingkaran besar.

Serbuk teh digulung kertas tembakau, dibakar dan hisap dalam-dalam, dijadikannya pengganti rokok menemani lamunan.

Tetapi tiba-tiba ia tersentak, bangkit sekonyong-konyong, saat dari kejauhan tampak segerombolan burung terbang rendah.

”Ini pertanda baik” gumamnya. ”pasti ada daratan di dekat sini”.

Dugannya tak meleset. Sang kapten sujud syukur saat beberapa sampan nelayan terlihat di kejauhan. Nyata, dan bukan fatamorgana.

Demikianlah. Seperti mimpi dirasakannya. Hamparan pulau dikelilingi karang terbentang di depan mata. Masalembu nama pulau itu, masuk dalam wilayah Kabupaten Sumenep, Jawa Timur.

“Aha panu, bele..” pekik seseorang di antara penduduk yang merubung dalam sekejap, saat sang kapten menjejakkan kaki di tanah pualu itu. Kapten Rasyid sedikit terkejut. Ia paham ucapan itu. Bahasa suku Bajo yang berarti “orang hanyut”.

Sebersit senyuman serta merta tercipta dari wajah tuanya, setelah sekian lama ia nyaris lupa bagaimana rasanya tersenyum.

Dedicated to our father..

Our Hero..

Abdul Rasyid,  24 April 1924 – 22 September 1996

Selamat Hari Pahlawan, Pak..

(Ditulis berdasarkan wawancara dengan Subali, Arifah, dan Kapten Rasyid sendiri semasa hidup)

Ziarah

Layaknya ziarah kubur, blog ini saya update hanya setahun sekali. Dan entah mengapa, ritual itu selalu terjadi pada tanggal 30 september, di sepertiga malam menjelang 1 oktober.

Ada banyak hal yang tak mungkin dirangkum dalam satu postingan.

Saya hanya ingin menyapa Indonesia di hari kesaktian Pancasila.

Pancasila tetap sakti, walaupun sedang sakit.

Kemarin pagi sayapnya kembali robek terkena bom sepeda teroris, setelah sebelumnya ekornya putus di Tarakan, ditebas kerusuhan etnis..

Dipublikasi di Tidak Dikategorikan | 3 Balasan

Pencapaian

Hari ini, tepat setahun lalu saya tinggalkan blog ini.
Tahun kemarin hingga detik ini adalah sebuah kurun waktu yang niscaya akan sangat saya rindukan pada masa-masa mendatang.
Banyak pencapaian di dalamnya.
Tak berbilang kesan yang takkan mungkin muat untuk satu page halaman.
Mereguk hasil dari sebuah kerja yang sebenarnya biasa-biasa saja.
Kerja yang saya lakukan dengan teramat santai menurut saya, tapi ganjaran Tuhan sungguh luar biasa adanya.
Sehingga kadang tak enak saya pada para pekerja keras di luar sana tapi tak meraih apa yang saya dapatkan.
Sombong dan pongah semoga saja tak menghampiri saya karenanya.

Alhamdulillah….
imbalan; dari pujian, popularitas hingga materi, sedikit banyak sudah saya dapatkan.
Menyempurnakan separuh agama pun sudah saya lakukan.
Dan saya tahu itu semua adalah tolak ukur kesuksesan di mata sementara orang.
Maka nikmat Tuhan yang mana yang patut saya dustakan..?
Mungkin dengan bersyukur, dan tidak hanya terbuai di zona aman adalah satu cara menghargainya.

Oya,
hari ini 30 september..
Ada hal yang perlu saya catat di sini sebagai sebuah pencapaian yang bolehlah saya sebut memuaskan.
Setahun lalu saya buat tulisan tentang anak pejabat yang dengan kuasanya mengintimidasi kami, mengerahkan preman untuk mencegah pemberitaan koran.
Tahukah kawan bagaimana kabarnya..?
Sekarang “si raja kecil”  itu ada dibalik jeruji, meringkuk karena dugaan miliaran korupsi.
Satu fragmen usai lagi, menguatkan frase klasik bahwa tak pernah ada yang abadi di dunia ini..

Dan tinggallah saya mulai mengira-ngira kembali..
pencapaian apa lagi yang akan Tuhan berikan, besok atau setahun ke depan nanti..

30 September

Pagi ini saya masih di kantor, belum pulang dan belum tidur sejak semalam.
Jam 3 subuh koran selesai cetak, tugas saya sejak tadi beres, dan tinggal menunggu loper berdatangan.
Ini hari terakhir bulan puasa, tak sabar rasanya saya ingin menikmati sahur terakhir di rumah.

Tiga buah mobil masuk kemudian ke pekarangan kantor secara tiba-tiba, dua puluhan penumpangnya melompat dan bergerak berpencar. Hanya dalam kedipan mata, kantor saya sudah dikepung pada semua sudut. Satpam pun kelabakan.

Memang ada satu berita headline koran yang rencana terbit hari ini menyudutkan seorang anak Bupati. Anak Bupati yang seolah lebih berkuasa dari bapaknya.
Mereka, yang rupanya preman-preman suruhan petinggi terhormat itu, memaksa kami tak menjual korannya hari ini.
“Kami bayar berapa pun, asal judulnya diganti!” bentaknya.

Ciut juga nyali saya. Saya tak malu mengatakan takut, karena saya pikir ini manusiawi dalam keadaan seperti ini. Demi melihat banyak orang dengan gelagat yang tak lazim itu, saya putuskan kembali masuk ruang redaksi. Sigap saya hubungi satu-persatu teman redaksi pekerja malam. Tapi rata-rata henpon tak aktif. Wajar karena ini memang jam istirahat.

Alhamdulillah, henpon saya tiba-tiba berbunyi, ada instruksi dari Redaktur pelaksana.
“Jangan panik, Ham! kamu tetap di situ, saya segera datang!” ujarnya. Lega perasaan saya.
“Kamu siap Layout ya, kita ganti headline hari ini!”
“Oke, Pak!”

Rupanya sebagian dari para preman itu sudah menyatroni rumah Pak Hans, Reaktur Pelaksana saya.
Pak Hans dijemput paksa. Dia tak bisa berkutik.
Kami bekerja kemudian dibawah tekanan. Semua dengan wajah dingin dan suasana mencekam.
Entah bagaimana kabar berita ini besok, saya hanya menunggu.

Pagi yang benar-benar melelahkan. Lelah fisik dan lelah hati.
Tak sengaja saya melirik kalender. Tanggal 30 september hari ini, tanggal di mana para jenderal Orde Lama dibungkam kebenarannya.
Hmm, entah ini cuma kebetulan atau semesta mendukung.

Akbar

Belum terlalu lama saya kenal anak itu. Baru sebulan belakangan.
Saya diminta jadi pembimbingnya di bidang karikatur untuk sebuah kompetisi seni mahasiswa tingkat nasional di Jambi.
Akbar nama mahasiswa itu. Sempat saya ceritakan pada postingan blog ini sebelumnya.

Sebenarnya, kalau mau jujur, si Akbar ini bisa dibilang masih lemah pada ide, dan sedikit mentah pada teknis.
Satu hal yang bisa dipaksakan jadi nilai plus darinya, hanya karena ia punya karakter yang kuat, ditunjang semangat yang menggebu-gebu.
Mungkin itu yang membuat saya tak butuh kerja keras untuk mengarahkannya.
Bahkan ketika seminggu saya tinggalkan karena kesibukan, pada minggu berikutnya perkembangannya sudah melaju begitu pesat. Sebagai pembimbing, manusiawi jika saya sempat kuatir bakal tergerus olehnya.
Jujur, jarang saya temui orang yang gigih sepertinya. Tak segan ia menelpon saya untuk sekadar bertanya hal-hal kecil yang kadang menurut saya tak begitu penting untuk ditanyakan.

Hingga akhirnya, sebuah insiden tragis mematahkan semangat saya. Akbar jadi korban kerusuhan kampus.
Sebatang busur panah membuatnya tersungkur pada detik-detik keberangkatannya bersama saya berkompetisi di Jambi itu.
Busur panah melekat tepat di dahi, diantara dua matanya.
Setelah operasi, penglihatannya rabun. Mata kirinya katanya tak lagi berfungsi dengan baik.

Melihat kondisinya yang payah seperti itu, sementara hari H tinggal menyobek dua tiga lembar almanak, saya serta merta lempar handuk.
Saya putuskan batalkan saja keberangkatan. Saya minta nama saya dicoret dari daftar nama pembimbing yang akan berangkat. Tanpa saya minta pun anak-anak kampus bisa memaklumi itu.

Tapi belakangan saya dikabari, si Akbar keras kepala. Ia ngotot tetap akan berangkat, ada ataupun tanpa saya.
Apa lacur, nama saya terlanjur tercoret. Tiket pesawat yang sejatinya milik saya sudah terganti nama orang lain. Tapi tak apa, pikir saya. Lagipula butuh birokrasi yang panjang soal perizinan di kantor andai saya memaksakan kehendak.

Pada akhirnya saya hanya bisa menjabat erat tangan Akbar, menepuk-nepuk pundaknya, memberi spirit alakadarnya di sore hari jelang keberangkatan itu.
Di mata saya, anak itu tak ubahnya seorang prajurit spartan terluka yang menuju medan perang dengan hanya bermodalkan semangat baja, tanpa ambil pusing pada kelemahan sendiri.

Semalam, tak sadar saya dibuatnya berkaca-kaca.
Dia menelepon dari Jambi. Tak banyak yang bisa diucapkannya.
“Terima kasih untuk semuanya, Bang..! Saya juara satu..!” ujarnya lirih terbata-bata. Saya tangkap suara tangis tertahan di seberang sana. Disambut sayup-sayup gemuruh sorak-sorai kawan-kawannya.

Tak terbilang perasaan saya. Bangga tapi juga malu.
Bangga, karena anak bimbingan saya ternyata mengulang prestasi yang pernah saya raih berapa tahun silam.
Malu, karena ia juga menampar saya dengan satu pelajaran moral:
“Putus asa hanya ada pada kamus usang para pecundang”.

Baik-Buruk

Kabar baik dan kabar buruk. Saya terima bersamaan malam ini.
Fajar, teman kantor saya menelpon, buku saya sudah masuk di gramedia sini.
Senang sekali rasanya, mengingat saya sudah capek menjawab pertanyaan yang itu-itu saja setiap harinya.
Bergegas saya ke sana. Gerimis tak jadi penghalang.
Banggalah saya buku itu dipajang di rak khusus, dirubung orang. Saya melihat mantan dosen saya di antara orang-orang itu.
Saya menjaga jarak. Saya takut takabur. Saya tak ingin melihat reaksi mereka kalau tahu saya penulisnya.
Sesekali saya hanya tersenyum-senyum sendiri dari kejauhan.
Itulah kabar baiknya.

Telepon berbunyi lagi. Dari teman, anak kampus.
Tak ada hubungannya dengan buku itu.

Anak kampus penelpon ini adalah satu diantara mahasiswa Unit Kegiatan Seni yang sebentar lagi berangkat ke Jambi bersama saya.
Ya, tinggal menghitung hari kami akan berangkat ke Jambi. Pekan Seni Mahasiswa Indonesia, tujuan kami.
Saya dipercaya mereka jadi pelatih tangkai lomba karikatur. Walau sebenarnya saya lebih suka disebut pembimbing ketimbang pelatih.
Pelatih, kesannya terlalu “wah”, menurut saya.
Toh, si Akbar, mahasiswa bimbingan saya itu tak perlu dilatih. Dia punya karakter sendiri yang sudah matang, dan hanya perlu sedikit sentuhan.

“Akbar sekarang di rumah sakit, Bang!” suara telepon di seberang, teman Akbar.
Saya tercekat.
“Iya Bang, dia salah satu korban yang kemarin diberitakan di koran abang..!”
lanjutnya lagi. Oh, rupanya inilah kabar buruknya.
Saya tak mau banyak bertanya soal kronologis. Saya keluar dari gramedia, memacu motor menuju rumah sakit Prayoga.

Banyak mahasiswa di sana.
Hawa kampus yang dua hari ini mencekam karena tawuran, terbawa hingga ke koridor-koridor rumah sakit itu.
Akbar tergolek tak berdaya. Dia paksakan bicara menyambut saya walau terbata-bata. Miris sekali saya melihatnya.
Sebatang busur panah yang terbuat dari terali motor, baru saja berhasil dikeluarkan dari tengkorak kepalanya.
Busur itu tepat mengenai dahi, tembus ke belakang telinga. Mata kirinya besar kemungkinan buta. Meski sudah diperban tapi masih terlihat bengkaknya.
Dari amatan saya pada foto rontgennya, hanya mukjizat yang membuat anak itu masih hidup.

Saya tak tahan melihat kondisinya.
Anak itu tak hanya bertalenta. Ia juga sopan dan ramah, makanya aneh saja kalau ia sampai terlibat tawuran.
Dari pengakuan dan cerita beberapa orang kawan, ia memang hanya korban salah sasaran.

Tak ada yang bisa saya lakukan, selain membesarkan semangatnya.
Sembari perlahan-lahan menghapus kota Jambi dari angan-angan saya.

Hiatus

Maaf, kawan.
lama saya hiatus.
Bukan tren, juga bukan sensasi,
tapi memang banyak hal yang membuat harus seperti itu.

Setiap sempat saya buka, ada saja komentar baru yang membuat saya merasa terbebani jika tak balas menyambangi, ataupun sekadar reply komentar, bangun interaksi.
Tapi itu tadi, ada banyak hal.
Yang paling mendasar tentunya mood yang berfluktuasi.

Kadang ada mood, waktunya yang sempit.
Kadang waktu memihak, ada lagi pertimbangan koneksi dan bandwith yang irit.
sekali lagi, maafkan kawan.

Thanks atas respon postingan saya sebelumnya.
Alhamdulillah, ibu saya baik-baik saja.
Simpatik dari kawan, saya anggap luar biasa.
Membuat perasaan saya campur aduk. Terharu, tapi juga geli.
Bagaimana tidak, simpati yang saya terima bukan sekadar ucapan dan doa,
tapi ada juga yang mengirimkan baju, bahkan susu kedelai untuk ibu saya.
Makasih banyak.
Ibu saya tak hanya tersenyum, tapi juga tertawa karenanya.
Bahagia saya melihatnya.

Ada juga rekan yang ijin memprint postingan saya untuk dibagikan pada anak-anak usia sekolah, katanya buat pelajaran menghargai orangtua.
Tak cukup sampai di situ, dan belum hilang rasa terharu saya, kemarin ada lagi kawan meminta postingan saya dimasukkan dalam antologi buku yang sedang digarapnya.

Subhanallah, di dalam kesulitan bukan hanya ada, tapi banyak kemudahan.

Berbicara tentang buku, buku JAKARTA UNDERKOMPOR karya saya baru saja diambil alih penerbitannya oleh Gramedia Pustaka Utama.
Sebuah progress besar dan tanggung jawab yang tentunya juga besar, namun berjalan dengan instan, diluar dugaan, dan penuh kemudahan.
Tanda tangan kontrak sudah saya lakukan. Insyaallah juli atau agustus bukunya sudah beredar di toko-toko buku seluruh Indonesia.
Walaupun isi buku itu nantinya bakal berubah dan tentunya bukan lagi mengikuti kehendak dan ego saya, setidaknya jalan terbentang lebar.
Mengingat begitu banyak penulis-penulis di luar sana yang terkatung-katung menunggu nasib naskah yang tak ada kabar dari penerbit.

Doakan, kawan.
Semoga dengan segala kemudahan, tak membuat saya dihampiri kesombongan.

Setelah ini, mungkin saya bakal hiatus lagi.
Mungkin..

Ibu

Jika ada hal yang saat ini membuat saya mengutuk diri sendiri, mungkin itu terjadi berapa tahun silam.

Keluarga kami hidup sangat sederhana waktu itu.
Dihari tuanya, almarhum ayah saya -yang keluar dari TNI secara ilegal- memilih beralih profesi menjadi imam dan penghulu kampung.
Secara finansial, tak banyak yang bisa diharap dari seorang penghulu.
Praktis ibu sayalah yang mesti kreatif. Di pundaknya terbebani tanggung jawab berapa orang anak yang masih sekolah, termasuk saya.
Ibu berdagang keliling. Door to door dari kampung ke kampung menjajakan kain dan properti rumah tangga kecil-kecilan. Tak jarang ia berjalan kaki seharian demi lembaran rupiah yang tak seberapa.

Tibalah suatu ketika. Dimana saya masih SMP.
Masa-masa transisi dari pra remaja ke remaja. Layaknya tipikal pemuda tanggung kebanyakan yang tinggi gengsi dan masih menomorsatukan hura-hura.
Pola pikir sempit yang belum tertempa kerasnya sistem survive dunia.
Berbaur dan bergaul dengan anak-anak orang mampu, seolah menuntut saya untuk sensitif dalam persoalan strata.

Saya sedang ramai berkumpul dengan teman-teman sekolah saat itu. Bersenda gurau, ketika sesosok perempuan paruh baya berjalan sedikit tertatih melintas tak jauh dari sekolah saya. Dua tangannya menenteng beban kantung besar. Sesekali istirahat menyeka peluh.
Tak terbilang perasaan saya saat menyadari perempuan itu ibu saya. Mata saya refleks bersirobok dengan matanya.
Ibu tampak terhenyak. Ia membuang muka, salah tingkah. Sembari tergopoh-gopoh berlalu dari situ.
Saya hanya menunduk, dan enggan melihatnya hingga hilang di kejauhan.
“Kalau tak salah, itu ibu kamu kan..?” tanya seorang teman yang kebetulan mengenal ibu saya. Saya tak menjawab, dan berusaha mengalihkan pembicaraan.
Dada saya sesak. Bergemuruh.
Saya iba, tapi juga geram.
Marah, tapi tak jelas marah pada apa dan siapa.
Bukan pada ibu saya. Tapi mungkin pada nasib dan keadaan.

Pulang sekolah saya langsung tidur. Tak lama, antara sadar dan tidak sebuah tangan lembut membelai rambut saya.
Saya tau itu tangan ibu, tapi saya tetap berpura-pura tidur.
Belaian yang lain dari biasanya. Belaian yang seolah mewakili sebuah permintaan maaf yang tak terucap.
Maaf dari orangtua yang tak sanggup membahagiakan anaknya dengan kecukupan materi. Karena memang materilah standar kebahagiaan anak seperti saya saat itu.
Mungkin saja ibu menangis saat membelai itu, tapi saya biarkan.
Saya biarkan membelai saya hingga saya benar-benar lelap.

Waktu bergulir.
Ayah saya berpulang dengan tenang. Ibu otomatis semakin membanting tulang.
Status single parent tak membatasi langkahnya terus bekerja hingga saya berhasil dijadikannya sarjana.
Tak terasa anak-anaknyapun mulai mandiri satu persatu.
Abang saya banyak yang sudah berkecukupan dan terbilang mapan. Dari hasil patungan abang-abang saya kemudian, ibu saya bisa melangkah ke tanah suci seperti impiannya sejak lama.

Saya tak ingat jelas kapan ibu saya berhenti berdagang.
Yang pasti, pulang dari berhaji itu ia sudah mulai tak kuat lagi berjalan jauh.

Kemarin, saya mendapati perempuan tangguh itu tergolek lemah.
Bibirnya sedikit bengkok. Dokter mendiagnosa stroke ringan.
Kami semua cemas. Terlebih saya sebagai anak bungsu yang punya ikatan emosional dengannya.

Saya sangat menyesal dulu pernah menyimpan perasaan malu menjadi anak seorang pedagang keliling.
Memori saat ibu melintas di depan saya dan teman-teman SMP itu terus menghantui pikiran saya.
Andai waktu bisa terulang, ingin saya katakan pada satu persatu teman-teman saya itu dulu, bahwasanya saya bangga punya ibu sepertinya.
Saya menyayanginya, seperti ia mengasihi saya.

Saat tamat kuliah saya pernah merantau dan bekerja di ibukota. Tapi panggilan nurani memutuskan saya kembali ke kampung halaman.
Ibu tak meminta, tapi tersirat dari nasihat-nasihatnya ia ingin menghabiskan masa-masa tua tak jauh dari anak-anaknya.

Semalam, pulang kantor saya memacu motor di antara gerimis.
Mata saya basah. Air yang berasal dari pelupuk mata berbaur dengan air hujan.
Sudah lama saya tak menangis. Entah kapan terakhir, tapi kali ini saya benar-benar menangis.
Ibu memesan susu kedelai kesukannya. Setelah berkeliling di supermarket dan apotik, saya dapat juga susu pesanan itu.
Saya ingin cepat-cepat pulang. Saya ingin segera tiba di rumah dan melihatnya sumringah dengan susu pesanannya.

Ya Allah, saya benar-benar takut kehilangannya.
Saya tak ingin apa-apa lagi saat ini. Saya hanya ingin melihat dia tersenyum dan baik-baik saja.
Andai Tuhan izinkan, saya ingin terus bersamanya hingga ajal tiba.
Entah ajalnya, atau ajal saya.

Wasiat

Saya ikut mengantar jazad itu hingga ke liang lahat siang kemarin. Jazad mertua teman saya.
Butuh perjuangan untuk mencapai lokasi kuburannya.
Tak bisa dicapai dengan kendaraan.
Kami mendaki bukit terjal. Bebatuan kadang rontok di tengah perjalanan. Diiringi teriak-teriakan tertahan, karena ada saja yang tergelincir.
Saya tak masalah, toh saya tak ikut menggotong. Tapi saya kasihan melihat mereka yang bermandi peluh.
Si penggali kubur yang tampak payah sekali, karena yang digalinya bukan cuma tanah keras, tetapi juga batu gunung.
Mencangkul, memahat. Ia tak ubahnya seperti seorang arkeolog yang mencari fosil.
Apa boleh buat, jenazah yang sudah siap, mesti menunggu hingga galian maksimal.
Prosesi pun molor hingga sore.

Aneh, pikir saya.
Kubur itu sendiri. Tak ada kuburan lain di situ.
Apa gerangan di benak orang-orang ini.
Sudah begitu sempit kah lahan pekuburan hingga tak ada alternatif selain tempat tak masuk akal itu?

Kita dari tanah, kembali ke tanah.
Tanah ya tanah. Di bukit terjal itu dan di bawah sana namanya tetap tanah. Jadi kenapa bersusah-susah?

Ternyata masalahnya tak sesederhana itu.
Wasiat, katanya. Si jenazah yang minta demikian sebelum berpulang.
Saya jadi berpikir, andai dia minta dikuburkan di Mekkah, mestikah dikabulkan juga atas nama wasiat..?

Entah kenapa, saya tiba-tiba bergidik.
Saya membayangkan jazad kaku itu saya.
Ah, jangan Tuhan..
Saya belum punya amal jariyah. Apalagi anak shaleh yang mendoakan.

Sudah cukup kiranya hidup telah banyak menyusahkan.
Kelak mati, semoga dalam keadaan tak menyusahkan.