Dagelan

Saya miris tak terpermanai atas berita ini..
Berlebihan..? mungkin tidak.

Coba bayangkan, tiga orang berseragam coklat ketat, dengan asumsi berat badan per orang rata-rata di atas 50 kilo,
duduk tak lazim bukan di kursi, tapi di atas meja kayu, dengan jenis kayu kelas wahid.
Sementara berbanding terbalik di bawah meja itu ada lelaki ringkih tak berbaju, meringis bercucuran keringat campur air mata.
Bukan air mata bahagia, tapi sakit.
Jari-jari kakinya dipaksa menempel di antara dua agrerat keras. Lantai dan ujung kaki meja.
Terhimpit. Ya jelas sakit.
Semakin pantat orang di atas meja bergerak, semakin si ringkih mengerjap kesakitan.
Bukannya prihatin, orang-orang berseragam yang mengaku pengayom masyarakat itu malah membentak.
Sesekali terkekeh.
Ini bagian pelengkap dari sebuah prosesi interogasi, setelah sebelumnya bermain di sekitar ulu hati dan tulang kering.

Saya tak miris andai orang yang di bawah meja itu Westerling, atau Adolf Hitler. Atau mungkin Salman Rushdi.
Tapi sayangnya, dia sama sekali bukan orang dengan kejahatan menggemaskan.
Dia hanya Adis, tipikal orang tak begitu penting dan gampang terlupakan, yang sedang diberi pengarahan agar mengakui tindak kriminal yang tak pernah dilakukan.

Ya..
Kasus sekuel Sengkon Karta lagi-lagi berlangsung.
Kasus-kasus memalukan yang tak kunjung berujung.
Kalau kebetulan, marilah memaklumi. Tapi ini, kebetulan kok berulang-ulang..?
Terjadi di jaman yang konon reformasi.
Basi..!
Seperti arisan berantai, kali ini daerah saya dapat giliran.

Syahdan, berapa waktu sebelumnya di rimbunan semak ditemukan sosok mayat membusuk.
Di luar sana ada yang melapor kehilangan anak perawan.
Tanpa otopsi dokter forensik, mayat hanya dicungkil-cungkil sedikit di puskesmas..
Tak mau repot, langsung ditetapkan itulah mayat Arni, si perawan hilang.
Berbekal surat tugas, Adis yang notabene kekasih Arni dijemput aparat.
Kata mereka untuk saksi saja. Belakangan status itu berubah tersangka.
Dan kejadian selanjutnya seperti tulisan saya di atas.

Ironisnya,
bak skenario sinetron kejar tayang, Arni ternyata masih hidup.
Dia tak hilang, tapi jadi TKW di Malaysia.
Mayat itu jelas bukan dia. Tapi perempuan lain yang entah siapa. Adispun tak kenal.

Apa lacur, Adis sudah berbulan-bulan di dalam bui.
Tubuh ringkihnya sudah mengecap nikmat laras polisi.
Sakit hati..? ya, iya lah.
Tapi mau apa..?
Jaksa dan Hakim pun enggan berjudi dengan profesi jika menarik kembali vonis yang kadung jatuh.

Kabar terakhir yang menggelikan, para aparat terhormat yang disumpah kitab itu mengeluarkan statemen bersama:
Arni memang masih hidup, tapi Adis tetaplah membunuh..
Tak peduli, apa mayat tak teridentifikasi itu pernah berjumpa Adis atau tidak..
dan juga tak peduli, saya yang sejak tadi miris sendiri..

Ah, sudah hampir subuh..
saya harus segera pulang,
Loper-loper itu juga sudah datang..
Sebentar lagi sepeda mereka bakal menutupi jalan keluar motor saya di parkiran kantor..

“tersenyumlah, Dik..
jangan miris seperti saya..
sambutlah hari cerah..
karena koranmu hari ini laku keras dengan berita dagelan konyol hukum kita..
insyaallah.. “

Batu

Dia melihat saya seolah saya ini penyanyi opera di panggung Broadway yang kenyang hingga bersendawa dengan decakan dan standing applausnya.

Padahal saya hanya ingin sebagai pengamen kecil di atas Kopaja.
Merdu atau sumbangpun persembahan itu, tetap berharap dibarter tunai, walau sekadar tiga digit angka dari berlembar lembaran di koceknya.
Bolehlah kalaupun kiranya hanya mengerling pada sudut mata atau menyumpal telinga dengan MP3.
Tapi sebisanya jangan biarkan nurani tertutup lemak-lemak mengganggu itu.

Apa tak pernah kau lihat sumringah wajah pengamen kecil ketika kau gemerincingkan bungkusan plastiknya dengan kepingan koinmu..?

“Bagus, Ham..
Kalau ini lancar, akan ada yang menyusul..
Sabar dulu ya..?
Yang ini anggap penglaris dulu.. “entengnya tadi menerima karya saya yang berpayah-payah saya buat.

Begitu kau meminta, begitu saya kerjakan..
Dan sekarang selesai, kau cuma bilang begitu, Pak..?
hey, hallooo…
Jelaskan padaku, terminologi sabar bagaimana yang kau maksud..?

Silahkan kalau mau jadi manusia batu,
tapi please..
jangan jadikan jaman ini jaman batu.

proud

Dia resign lagi dari kantor yang belum genap sebulan ditempati.
Entah ini untuk yang ke berapa kalinya sejak mengambil sikap menetap di Ibukota dua tahun silam.
Padahal yang kudengar tempo hari, gajinya sebagai graphic designer di kantor terakhir itu mencapai nominal 5 juta.
Nilai yang fantastis setidaknya menurut saya untuk ukuran karyawan baru.
Nyaris lima kali lipat dari gaji saya di sini.
Dan mengingat skill serta performa, saya sudah sempat yakin karirnya bakal terus menanjak.

Abang saya itu memang sedikit labil. Satu sifat yang bisa jadi seonggok parasit pada pohon kecerdasan.
Itu yang membuat saya sebal, walaupun saya juga terkadang begitu.
Saya hanya tak ingin sifat itu mendarah daging.

Kami pernah kost bersama di Jakarta sebelum akhirnya saya memutuskan kembali ke daerah dengan sebuah alasan klasik. Ibu tak ingin anak-anaknya jauh di hari senjanya.
Sebagai bungsu, saya mengalah. Dan abang saya tetap di sana.

Yang saya ingat betul, dia tak pernah menetap pada satu pekerjaan.
Siang berkutat dengan pekerjaan, malamnya sibuk berkutat membolak-balik halaman klasika koran Kompas sabtu, mengais-ngais lowongan baru.
Manusiawi memang, tak pernah puas bertualang itu wajar. Ada ribuan seperti itu di Jakarta.
Tapi manusiawi juga jika saya agak kecewa dengannya yang demikian itu seolah tak menghargai air mata kepercayaan ibu dan lebih memilih bermain-main dengan nasib.
Berharap hujan di langit, air di tempayan ditumpahkan.

“Kenapa lagi, Bang..? Gaji berapa lagi sih yang dicari..?” tanya saya ketus di Yahoo Mesenger, malam kemarin.

Saya tercekat kemudian.
Menyesal sendiri dengan pertanyaan retoris itu, setelah mendengar klarifikasi darinya.
Kali ini katanya bukan soal gaji. Tapi hal prinsip yang sensitif.
Dia dicaci-maki dengan kalimat tak layak oleh atasan art director yang Korea itu di depan semua karyawan hanya karena meninggalkan pekerjaan tak sampai 10 menit untuk kewajiban SHALAT ASHAR.

Saya menerawang.
Ayah kami sebelum direnggut malaikat maut pernah berpesan, anak-anaknya boleh menjadi bawahan tapi jangan jadi kacung, apalagi kacung yang sampai menggadaikan akidah.

I proud of you, brother..
Cukuplah untuk kali ini.

Dan ayahpun pasti tersenyum bangga di sana.

Ikhlas

“Tapi saya ikhlas, kok..”
kata saya kala itu berkabar pada teman, ikhwal perempuan ideal saya akan menikah.
Teman saya malah tergelak.
“Kamu tak ikhlas, Ham..”timpalnya
…karena ikhlas itu persoalan hati, bukan lisan..” lanjutnya lagi
Sejujurnya tak perlu kau ucap. Kau yang simpan. Kalau mau telan, silahkan.
Itulah ikhlas.

Saya benar-benar tertohok. Tapi dapat pembelajaran indah.

Makanya saya refleks tersenyum kecut siang tadi, saat menyaksikan bapak pejabat tambun itu menyerahkan bantuan kemanusiaan depan orang banyak, seraya berkata: “ini ikhlas..!”

Maaf, Pak..
Saya tak menampik keikhlasan anda.
Juga bukan mentalis yang sanggup membaca niat anda.
Tapi salahkah jika saya berprasangka..?

Berkah

Mereka gesit. Mereka sibuk.
Sesekali berlari-lari kecil seperti ritual sa’i di padang Arafah.
Tumpukan kertas dibiarkan berhamburan di atas meja layouter.
Ringtone ponsel bersahutan. Klien di seberang seolah tuli hingga setiap ucapan mesti dengan artikulasi dan intonasi yang sedikit memekakkan telinga.
Besok halaman koran padat pesanan ucapan bela sungkawa.
Yang tulus atau sekadar formalitas,
siapa peduli..?

Hari ini Kapolda berpulang.
Hanya berbalut kain kafan, bukan seragam dengan bintang di pundak.
Padahal masih basah tanah kuburan pejabat Ketua KPU yang dipanggil duluan, tak sampai bilangan sehari.

Kota berduka.
Anak-anak muda divisi iklan itu juga mungkin berduka, tapi mendulang berkah.
Tuhan Maha Baik.
Pun misterius.
Rejeki-Nya ditebar dari tempat tak terduga.

Bahkan dari urai air mata..

Mukaddimah

Sudah lama terbersit jadi bagian dari sini.
Kadangkala ingin rehat dari kekonyolan yang menjemukan.
Karena setiap perubahan mesti baik, rasanya saya juga mesti mengamini pakem yang ada.
Kalaulah justru buruk, itu resiko. Toh saya hanya mengikuti alur, bukan membuat jalan.
Bukankah semilyar awalnya dari Nol..?
Maka ketiadaan tetap tiada jika tak pernah mulai mencoba.

Menjadi burukpun sebenarnya bukan nista. Karena setiap yang buruk niscaya secuil kebaikan di dalamnya.
Orang menyebutnya hikmah.

Ketika hikmah tak juga saya temukan, tak bijak salahkan apa,
karena Tuhan menciptakan ikhtiar bukan sekadar wacana.

Teriring salam..
Sembari berharap awal yang baik.