Oase

Mata teduh lelaki tua musafir Kuwait itu beradu mata saya.
Jelas tak nampak gelayutan mendung..
Namun refleks saya melontar pandang ke tempat lain.
Tak sanggup rasanya.
Atau mungkin tak pantas.
Mengingat mata teduh itu harus beradu pandang dengan mata pelahap hal-hal syubhat dan tekadang haram ini.

Bibir Timur Tengahnya bergerak cepat, ditimpali ayat-ayat suci beberapa ucap.
Diselingi translate penterjemah yang sepertinya Jawa.
Kentara dari tajwid yang sesekali medok.

Saya seperti terjebak dalam situasi yang begitu tak bersetuju dengan kata hati semula.
Sholat di masjid, sebenarnya hanya itu tujuan saya.
Zikir semenit dua menit, tanpa menunggu doa berjamaah, biasanya gatal kaki saya untuk bergegas beranjak keluar.
Meski saya tau tak ada sesuatu yang penting-penting amat di luar, selain hanya pulang memelototi acara-acara konyol di tivi.

Tapi seperti tersugesti, mata teduh itu membuat saya bergeming..
Beringsut beberapa langkah, lalu memutuskan mendekat dalam lingkaran spontan yang dibentuk beberapa jamaah dengan performa serupa si pak tua.

Tertatih dia berdiri di tengah-tengah.
Ibarat sebuah api unggun, semangatnya berkobar, ucapannya meledak-ledak, tapi sedikitpun tak nampak gurat amarah di sana.
Hampir setiap kalimat ditegaskan dengan belalakan mata atau tengadah ke langit-langit, sembari melontar asma Allah.
Latah diikuti koor pengikut yang manut.

Jujur, saya tak fokus lagi pada substansi ceramahnya, toh itu hal-hal yang sudah teramat biasa saya dengar.
Amar ma’ruf nahi munkar. Yang baik dibalas surga, yang buruk dibarter neraka.

Sempat saya mengernyit, ada beberapa dalil asing di kuping. Tak disebutkan detail riwayat perawinya.
Saya bisa mafhum kemudian, karena saya lihat dia menggenggam kitab Fadhillah amal, yang saya pernah tekuni dan sedikit tahu, banyak hadits-hadits dhoif di sana.
Wallahu’alam.
CMIIW, ya Allah..

Saya diam bukannya tak peduli, tapi terlalu besar mudharat jika interupsi pada situasi yang demikian.
Biarlah si pak tua dengan tanggung jawabnya.
Toh saya hanya kagum pada pribadinya.
Dengan segala semangat yang pekat.

Jauh dari Kuwait dia datang. Khuruj istilah mereka.
Padahal usianya kepala tujuh menurut taksiran saya.

Pada akhirnya..
Malu rasanya saya pada diri sendiri.
Entah sudah berapa jauh saya sia-siakan umur menikmati futur.
Fluktuasi iman yang terpuruk seperti kurs rupiah dihantam dolar.
Selalu sepelekan mencoba satu dosa yang padahal niscaya akan memberi peluang untuk mencoba dosa-dosa berikutnya.

Tersiksa akhirnya dengan kebenaran.
Kerap menghindar dari teman-teman berjuluk ikhwan.

Sholat tak lagi pernah menenangkan.
Dikerjakan bak sebuah beban, bukan kewajiban.
Kadangkala lupa ingatan, ini rakaat tiga atau penghabisan.

Ya, pak tua itu benar-benar seperti oase di tengah gurun untuk saya..

10 thoughts on “Oase

  1. Knp nd tanya ki itu bpk, punya ana ce’ ga pak?.. 😀 ..Sapa tau sapa tau toh.. 😛

    ———————————
    wahaha.. bisa-bisa talloko lidahku, Deen..
    secara itu orang Kuwait, masa mau dikasih bahasa bugis..?
    😛

  2. salam…
    sejukkan hatimu selalu bro 😉
    skedar ide mnanggapi komen deen, knp nda bilang ke interpreternya utk disampaikan ke bpk itu, siapa tau lagi, bukan mo cr jodoh utk anak gadisnya, tp mo bljr bhs bugis.hihihihi… 😀 huekekeke….
    (lg suka usil)

    ———————————————-
    hehehe…
    atau anak gadisnya yang mau belajar bahasa bugis..?
    *halahh, tambah ngawur
    😀

  3. wew…..yg penting bs diambil hikmahnya dlm kejadian tsb he3x

    ————————————————
    sip.. sip..
    seburuk apapun kejadian, pasti ada hikmah..
    😉

  4. jika sholat sudah jadi beban, bahkan bukan kewajiban..maka kapan pula menjadi kebutuhan ?
    thx bang Arham, betul2 menyejukkan oase ini… 🙂

    ————————————————–
    hwaduhhh, kayaknya lebih menyejukkan puisi-puisi antum deh, akhi..
    hehehe…

  5. Alhamdulillah.. bang Arham (mudah2an aku juga)
    masih bisa ngambil “potongan2” hikmah…,
    bahkan disaat hati kita g ngharepin “ditampar” karena kelalaian kita untuk nyadar
    dan kembali nanya, “untuk apa sebenernya hidup yang kita jalani..”

    *btw…. aku lagi “namparin” diri sendiri sebenernya comment kek gini…
    🙂 🙂 🙂

    ————————————————–
    jangan namparin diri sendiri..
    kan sakit, atuh..
    kalo mau nampar, mending namparin Ian Kasela..
    heheheh…
    😀

  6. Sholat tak lagi pernah menenangkan.
    Dikerjakan bak sebuah beban, bukan kewajiban.
    Kadangkala lupa ingatan, ini rakaat tiga atau penghabisan.

    yah gitu degh hikz

    ————————–

    berarti ini masalah umum dong, ya..?
    berarti gw gak sendiri, dong..
    😀

  7. ah, gampang itu klo soal bahasa, tinggal ambil saja kaen taplak, trus qt pake…. plus tunjuk2 dirinya… kan tersampekan mi..
    yahh..palingan na kira org2 di skitar tao pongoro’ ki krn sdh aneh di mesjid.. ;))

    —————————————

    halahhh..
    *jitak deen*
    😛

Tinggalkan Balasan ke Ahsan Lau Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.